Sabtu malam (12/12) waktu
Paris, akhirnya Pertemuan Para Pihak ke-21 (COP 21) Konvensi Kerangka
Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) ditutup dengan diadopsinya
‘Kesepakatan Paris’ (Paris Agreement). Paris Agreement
dirasa mampu menjadi dasar upaya jangka panjang dalam menghadapi
perubahan iklim. Kesepakatan tersebut merupakan cerminan sikap
Pemerintah di berbagai belahan dunia yang telah mengesampingkan
kepentingan masing-masing. Pesan kuat Paris Agreement adalah
kesadaran dan sikap baru untuk bersama-sama menghadapi ancaman perubahan
iklim, mengambil tindakan yang lebih secara progresif dan juga bersama
mencapai tujuan yang melindungi kelompok rentan di dunia.
Terlepas dari berbagai kemajuan dalam proses negosiasi selama dua minggu terakhir, WWF memandang Paris Agreement tetap memerlukan penguatan dan dukungan tambahan (accelerated actions – red) dari tiap negara. Hanya dengan demikian langkah yang ditempuh berada pada jalur pengurangan emisi yang menahan laju pemanasan global di bawah 2.0oC atau bahkan 1.5oC. Saat ini INDCs (Intended Nationally Determined Contributions) hanya memenuhi setengah dari pengurangan emisi yang diperlukan, masih meninggalkan kekurangan sebesar 12 – 16 giga ton emisi.
Menanggapi lahirnya Paris Agreement, Dr Efransjah, CEO WWF Indonesia menyatakan, “WWF menyambut positif Paris Agreement. Kesepakatan tersebut memiliki beberapa elemen penting untuk menyelamatkan dunia dari dampak terburuk perubahan iklim. Di dalamnya juga sudah menggambarkan perhatian untuk perlindungan kelompok rentan dan kepentingan Indonesia.”
Paris Agreement memuat tujuan global untuk adaptasi perubahan iklim, termasuk secara terpisah menyebut tentang kerusakan dan kerugian akan dampak perubahan iklim (Loss and Damage – red). Selain itu, di dalamnya juga menjelaskan bahwa semua negara harus bertindak untuk menahan laju deforestasi, degradasi lahan dan memperbaiki tata kelola lahan. Termasuk proses yang dapat dijadikan acuan untuk melakukan perhitungan emisi karbon pada sektor lahan. Indonesia bersamaan dengan berlangsungnya COP 21 telah meluncurkan sistem perhitungan emisi karbon dari sektor lahan yang dikenal dengan INCAS (Indonesia National Carbon Accounting System).
Indonesia perlu berada pada jalur di mana tercapai puncak emisi karbon (carbon peak) dari pembangunan konvensional pada tahun 2020, dan berupaya setelahnya menurunkan emisi karbon secara drastis. Selain mengurangi laju deforestasi dan degradasi lahan, upaya yang perlu ditempuh sejak sekarang adalah mengikuti transisi global beralih menuju penggunaan energi bersih dan terbarukan. Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia, dan juga cukup memilki potensi pemanfaatan energi dari tenaga surya maupun tenaga air.
“Terpenting pasca COP 21 adalah bagaimana para negara termasuk Indonesia mengimplementasikan komitmen dalam INDCs secara sistematis dan bertanggung jawab. Melibatkan berbagai kelompok masyarakat madani dalam Delegasi RI oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI merupakan langkah maju yang mewarnai upaya mewujudkan tata kelola yg lebih baik" lanjut Efransjah.
Nyoman Iswarayoga, Direktur Komunikasi dan Advokasi WWF Indonesia, menambahkan, “Pembangunan rendah karbon seyogyanya hanya terwujud melalui kerja sama dengan aktor non-pemerintah termasuk di dalamnya sektor bisnis, kota, dan kelompok masyarakat luas. Hasil yang dicapai di Paris adalah buktinya, proses ini telah membuat masyarakat dunia lebih sadar dan peduli akan pentingnya kolaborasi skala besar untuk menangani permasalahan perubahan iklim.”
Paris Agreement menghendaki pada tahun 2018 semua negara bisa melaporkan pencapaiannya terhadap tujuan yang disepakati di akhir COP 21 meliputi pengurangan emisi, adaptasi dan pendanaan.
COP 21 di Paris yang dibuka pada tanggal 30 November lalu, diawali dengan hadirnya lebih dari 180 negara dengan komitmen nasional mereka. Ini diperkuat dengan kehadiran lebih dari 150 kepala negara dan pemerintahan yang melalui pidatonya mendorong tercapainya Paris Agreement yang dipandang sebagai sebuah capaian yang membawa angin segar dalam ruang negosiasi perubahan iklim.
Terlepas dari berbagai kemajuan dalam proses negosiasi selama dua minggu terakhir, WWF memandang Paris Agreement tetap memerlukan penguatan dan dukungan tambahan (accelerated actions – red) dari tiap negara. Hanya dengan demikian langkah yang ditempuh berada pada jalur pengurangan emisi yang menahan laju pemanasan global di bawah 2.0oC atau bahkan 1.5oC. Saat ini INDCs (Intended Nationally Determined Contributions) hanya memenuhi setengah dari pengurangan emisi yang diperlukan, masih meninggalkan kekurangan sebesar 12 – 16 giga ton emisi.
Menanggapi lahirnya Paris Agreement, Dr Efransjah, CEO WWF Indonesia menyatakan, “WWF menyambut positif Paris Agreement. Kesepakatan tersebut memiliki beberapa elemen penting untuk menyelamatkan dunia dari dampak terburuk perubahan iklim. Di dalamnya juga sudah menggambarkan perhatian untuk perlindungan kelompok rentan dan kepentingan Indonesia.”
Paris Agreement memuat tujuan global untuk adaptasi perubahan iklim, termasuk secara terpisah menyebut tentang kerusakan dan kerugian akan dampak perubahan iklim (Loss and Damage – red). Selain itu, di dalamnya juga menjelaskan bahwa semua negara harus bertindak untuk menahan laju deforestasi, degradasi lahan dan memperbaiki tata kelola lahan. Termasuk proses yang dapat dijadikan acuan untuk melakukan perhitungan emisi karbon pada sektor lahan. Indonesia bersamaan dengan berlangsungnya COP 21 telah meluncurkan sistem perhitungan emisi karbon dari sektor lahan yang dikenal dengan INCAS (Indonesia National Carbon Accounting System).
Indonesia perlu berada pada jalur di mana tercapai puncak emisi karbon (carbon peak) dari pembangunan konvensional pada tahun 2020, dan berupaya setelahnya menurunkan emisi karbon secara drastis. Selain mengurangi laju deforestasi dan degradasi lahan, upaya yang perlu ditempuh sejak sekarang adalah mengikuti transisi global beralih menuju penggunaan energi bersih dan terbarukan. Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia, dan juga cukup memilki potensi pemanfaatan energi dari tenaga surya maupun tenaga air.
“Terpenting pasca COP 21 adalah bagaimana para negara termasuk Indonesia mengimplementasikan komitmen dalam INDCs secara sistematis dan bertanggung jawab. Melibatkan berbagai kelompok masyarakat madani dalam Delegasi RI oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI merupakan langkah maju yang mewarnai upaya mewujudkan tata kelola yg lebih baik" lanjut Efransjah.
Nyoman Iswarayoga, Direktur Komunikasi dan Advokasi WWF Indonesia, menambahkan, “Pembangunan rendah karbon seyogyanya hanya terwujud melalui kerja sama dengan aktor non-pemerintah termasuk di dalamnya sektor bisnis, kota, dan kelompok masyarakat luas. Hasil yang dicapai di Paris adalah buktinya, proses ini telah membuat masyarakat dunia lebih sadar dan peduli akan pentingnya kolaborasi skala besar untuk menangani permasalahan perubahan iklim.”
Paris Agreement menghendaki pada tahun 2018 semua negara bisa melaporkan pencapaiannya terhadap tujuan yang disepakati di akhir COP 21 meliputi pengurangan emisi, adaptasi dan pendanaan.
COP 21 di Paris yang dibuka pada tanggal 30 November lalu, diawali dengan hadirnya lebih dari 180 negara dengan komitmen nasional mereka. Ini diperkuat dengan kehadiran lebih dari 150 kepala negara dan pemerintahan yang melalui pidatonya mendorong tercapainya Paris Agreement yang dipandang sebagai sebuah capaian yang membawa angin segar dalam ruang negosiasi perubahan iklim.
sumber: wwf.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar